Jakarta: Majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mengadili mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) diharapkan mengedepankan aspek keadilan. Hakim diminta memutuskan dengan hati jernih, adil, dan manusiawi.
"(Hakim) jangan tunduk pada tekanan publik," kata Eko B Supriyanto, Chairman InfoBank Institute, dalam keterangan tertulis, Selasa, 18 September 2018.
Eko menyayangkan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Syafruddin. Jaksa KPK menuntut hukuman penjara 15 tahun ditambah denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Syafruddin terseret kasus penerbitan surat keterangan lunas (SKL) pemegang saham (PS) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sebagai penerima Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI). Dia diduga telah memperkaya pihak pada kasus itu.
Dia dianggap melanggar Pasal 2 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Penerbitan SKL oleh Syafruddin dinilai jaksa merupakan perbuatan melawan hukum. Pasalnya, pada proses penyelesaian BLBI telah terjadi misrepresentasi oleh pemegang saham mayoritas BDNI, Sjamsul Nursalim (SN).
Menurut Eko, terdapat sejumlah kejanggalan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor. Beberapa fakta hukum dianggap tidak memperkuat tuduhan jaksa KPK.
EKo menyoroti masalah audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam kerangka penyelesaian masalah BLBI-BDNI, BPK telah mengaudit pada 2002 dan 2006. Hasilnya, seluruh kewajiban SN sudah dilunasi dan tidak ditemukan masalah.
Sementara itu, laporan audit investigatif BPK 2017 diminta oleh KPK setelah Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka. Hasil audit bertolak belakang dengan dua audit BPK sebelumnya: terdapat kerugian negara dalam penyelesaian BLBI-BDNI.
Audit investigatif itu dianggao tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur oleh BPK sendiri, yaitu Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017, khususnya butir 21 sampai dengan 26. Sesuai dengan Pasal 6 ayat 5 UU BPK, suatu laporan audit harus memiliki pihak yang diperiksa (auditee) dan harus dikonfirmasi ke auditee-nya, serta harus menggunakan data primer.
Sementara itu, dalam laporan audit investigatif BPK 2017, tidak ada auditee yang diperiksa dan tidak pernah terkonfirmasi. Data yang digunakan bukan data primer, melainkan data sekunder.
Masalah kedua, kata Eko, misrepresentasi. Eko mengutip ahli hukum perdata Nindyo Pramono yang dalam kesaksiannya menyatakan dalam suatu perjanjian perdata, termasuk master of settlement and acquisition agreement (MSAA), penetapan terjadi misrepresentasi atau tidak, harus melalui keputusan pengadilan. Dalam hukum perdata, suatu misrepresentasi tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan
Eko juga menilai ketika BPPN dibubarkan, maka hak tagih beralih ke Kementerian Keuangan. BPPN telah menyerahkan hak tagih atas aset BDNI senilai Rp4,8 triliun pada 2004, tetapi aset itu dijual oleh menteri keuangan pada 2007 senilai Rp220 miliar.
"Jadi yang menjual aset tersebut bukan SAT ketika menjadi Ketua BPPN, melainkan menteri keuangan saat itu," jelas dia.
Baca: KPK Yakin Bukti di Persidangan Perkuat Dakwaan Syafrudin
Di sisi lain, kata dia, pemerintah dan Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham BDNI telah terikat perjanjian keperdataan yang dirancang oleh pemerintah, yaitu MSAA. Sesuai situasi krisis pada 1998, MSAA dirancang dan diterapkan bagi PS bank yang kooperatif dan memiliki aset cukup untuk membayar BLBI.
Soal masalah saksi dari petambak, kata Eko, persidangan kasus Syafruddin tidak mendengar kesaksian petambak secara berimbang. Jaksa hanya memanggil saksi-saksi yang bisa memperkuat tuduhan, tetapai sidang pengadilan ini tidak mendengar saksi para petambak yang diajukan oleh pihak terdakwa.
Penyelesaian kewajiban pun diselesaikan dengan MSAA dan disepakati di luar pengadilan dan perdata serta sudah diaktanotariskan. Eko menyebut pemberian SKL secara hukum sudah terpenuhi dengan mengikuti seluruh proses, seperti UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas, Inpres Nomor 8 tahun 2002, Tap MPR X/2001 dan Tap MPR VI/2002. Pemerintah juga menyatakan SKL-BDNI tidak bermasalah.
Eko juga menyebut tidak ada gratifikasi atau penerimaan uang baik dirinya maupun keluarganya ataupun operasi tangkap tangan (OTT) pada kasus ini. Hakim pun diminta bijak dalam menjatuhkan putusan pada kasus ini.
(OGI)
Let's block ads! (Why?)
http://news.metrotvnews.com/hukum/akW3lLBk-hakim-diminta-utamakan-aspek-keadilan