Ilustrasi. Medcom.id/Mohammad Rizal.
Jakarta: Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril menilai koruptor yang mencuri dana bantuan bencana layak dihukum mati. Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi mengakomodasi hal tersebut.
"Konstruksi hukumnya demikian. Mereka yang korupsi pada kondisi tertentu dapat diberikan ancaman hukuman lebih berat bahkan vonis mati," ujarnya melalui sambungan telepon dalam Editorial Media Indonesia, Selasa, 18 September 2018.
Oce mengatakan hukuman mati terhadap koruptor dijatuhkan jika dana yang dicuri berasal dari dana bantuan bencana, saat krisis ekonomi, atau pengulangan tindak pidana korupsi.
Meski diatur secara jelas sayangnya penegak hukum belum pernah menggunakan instrumen pidana mati itu untuk kasus korupsi. Paling maksimal hanya pidana seumur hidup dengan jumlah kasus yang masih bisa dihitung jari.
Lihat juga: Tersangka Suap Dana Bantuan Gempa Lombok Diperiksa Kejari Mataram
Oce menduga belum adanya penerapan pidana mati terhadap kasus korupsi lantaran adanya limitasi pada kondisi tertentu atau boleh jadi penegak hukum merasa hukuman mati terlalu berlebihan jika dibandingkan dengan nilai uang yang dikorupsi
"Tapi kan undang-undang tidak melihat seberapa besar nilai korupsinya melainkan dalam kondisi apa korupsi itu dilakukan," kata dia.
Menurut Oce perlu terobosan dan keberanian penegak hukum untuk menggunakan aturan tersebut sebab yang diperlukan untuk memberi pelajaran kepada koruptor ada efek jera.
Hukuman mati, kata Oce, akan membuat pelaku berpikir berulang kali untuk menyalahgunakan dana bantuan bencana untuk kepentingan pribadi kendati jumlahnya sedikit.
"Jangan hanya indah dalam tulisan tapi tidak terlalu bagus penerapannya. Kalau kondisi tertentu terpenuhi semestinya penegak hukum tak ragu menjatuhkan hukuman maksimal," jelas dia.
(MEL)
No comments:
Post a Comment