Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu, menyatakan itu.
Mahkamah Agung melalui putusan uji materi Peraturan KPU Nomor 20/2018, menyatakan mantan narapidana kasus tindak pidana korupsi, kejahatan seksual terhadap anak dan bandar narkoba diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten-kota, Kamis (13/9).
Dalam pertimbangannya, MA menyatakan bahwa ketentuan yang digugat para pemohon bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, yaitu UU Nomor 7/2017 (UU Pemilu).
"Apabila partai tidak mencoret, KPU mesti mengadopsi gagasan menandai atau memberi keterangan mantan napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba sesuai dengan kejahatan yang mereka lakukan," kata dia.
Selanjutnya KPU juga diminta untuk membuka riwayat hidup seluruh calon legislatif Pemilu 2019 tanpa terkecuali, termasuk apabila calon pejabat publik itu keberatan
Publik juga agar mengenali rekam jejak caleg dalam Pemilu 2019 dan tidak memilih nama-nama koruptor yang mencalonkan diri.
"Meski semua pihak harus menghormati putusan itu, kritik juga penting disuarakan, terdapat dua catatan kritis terhadap uji materi yang telah dilakukan oleh MA ini," kata Fariz.
Catatan pertama, proses pengujian materi ini diduga tidak sesuai prosedur karena dilakukan sebelum Mahkamah Konstitusi menyelesaikan uji materi atas UU Nomor 7/2017. Padahal, menurut Pasal 55 UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi tentang menyebutkan, proses uji materi peraturan perundang-undangan di MA dilakukan setelah proses uji materi di MK selesai;
Kedua, proses pengujian terkesan tidak terbuka. Padahal, larangan ini merupakan polemik panjang dimana pendapat pihak pendukung dan penolak juga penting didengar dan dipertimbangkan. Hingga saat ini, putusan juga belum dipublikasikan atau diakses publik.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2018
No comments:
Post a Comment